ToT Asesmen 4 Dimensi dan Kebutuhan Narapidana Teroris

litmas dan assesmen 

Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Sulsel Harun Sulianto hadiri pembukaan kegiatan Training of Trainer (ToT) Instrumen Asesmen 4 (Empat) Dimensi dan Kebutuhan Narapidana Teroris di Hotel Novotel Makassar, Senin (21/02).

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham bekerjasama dengan United Nations on Drugs and Crime (UNODC).

Kakanwil Kemenkumham Sulsel Harun Sulianto dalam sambutannya mengucapkan selamat datang kepada para peserta yang merupakan pejabat fungsional Pembimbing Kemasyakatan (PK) dari luar Sulsel.

Harun mempromosikan kuliner khas Sulsel yang terkenal lezatnya itu . “Disini ada Pallumara, Pallubasa, Pallu Kaloa, Juga Coto. Jadi selama 5 hari di Makassar harus mencobanya," Kata Harun.

Harun juga mengapresiasi pelaksanaan kegiatan ini karena menggunakan Kurikulum Internasional sehingga diharapkan kepada peserta agar dapat mengikutinya dengan baik. “Assesmen 4 dimensi ini adalah hal yang baru dan harus diikuti  dengan baik oleh peserta," Kata Kakanwil Harun.

Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Ditjen Pemasyarakatan, Liberti Sitinjak, mengatakan bahwa dari 271.997 Penguni Lapas/Rutan di Indonesia, sebanyak 470 Narapidana Terorisme yang tersebar di seluruh Lapas dan Rutan se-Indonesia.

Untuk itu, kata Sitinjak diperlukan strategi pembinaan narapidana yakni melalui Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) dan assessmen agar mengetahui risiko pengulangan tindak pidana kembali dan memetakan kebutuhan pembinaan narapidana teroris (Napiter) tersebut.

Serta risiko keamanan dan keselamatannya serta untuk melihat perubahan perilaku dan risiko napiter, melalui penilaian dengan instrumen Sistem Penilaian Pembinaan Narapidana (SPPN).

Kemudian dilakukan deradikalisasi untuk menangkal dan mengubah paham-paham radikal dan disengagement dilakukan untuk memutuskan pengaruh buruk lingkungan sosial napiter.

Dampak yang diharapkan dari pembinaan Narapidana Terorisme di Lapas yakni Ketidakmampuan meneruskan nilai-nilai yang diyakini, Melemahkan partisipasi kelompok, Hilangnya dukungan komunitas. "Juga   Menurunnya tingkat risiko radikalisme dan residivisme dan  Napiter lebih siap dalam proses reintegrasi sosial,” Kata Direktur Liberti Sitinjak.

Menurut Sitinjak, bahwa tantangan dalam pembinaan dan pembimbingan napiter yakni Pertama, Sebagian napiter tidak mau berubah, dan  merasa nyaman dengan kehidupan  sebelumnya dan memegang kuat  ideologinya.

Kedua, Sebagian napiter takut akan ancaman kelompok atau jaringannya karena  membahayakan keselamatan diri dan  keluarganya. Ketiga, Kekhawatiran akan ketidakmampuan secara finansial setelah bebas dan mungkin terpengaruh untuk bergabung dengan kelompok/jaringannya serta Keempat, Kurangnya partisipasi masyarakat dalam mendukung reintegrasi sosial napiter.

National Programme Associate UNODC, Rabby Pramudatama mengatakan bahwa kurikulum yang digunakan dalam kegiatan ini telah melalui beberapa tahapan dan di kontekstualisasikan dengan situasi yang ada secara nasional di Indonesia.

Assesmen dan penilaian resiko yang ketat tidak hanya diperlukan untuk memastikan penempatan yang aman, tetapi juga berguna untuk merancang program deradikalisai atau disengagement. Juga mengurangi kemungkinan radikalisasi, untuk menentukan alokasi Sumber Daya yang efisien dan memilih tipe pengelolaan Lapas yang tepat bagi Napiter tersebut.

Kegiatan ini turut dihadiri Kepala Divisi Pemasyarakatan Kemenkumham Sulsel Edi Kurniadi, PK Ahli Muda Sub Koordinator Assemen dan Klasifikasi Dit. Bimkemas & PA Galih Rakasiwi.

Pesertanya adalah 21 orang Pembimbing Kemasyarakatan dari Bapas Manokwari, Palu, Merauke, Sorong, Ambon, Gorontalo, Jayapura, Tidore, Fak-fak, Nusakambangan, Kupang, Jakarta Barat, Bau-bau, Kendari, Klaten, ternate, Waikabubak, Sintang, Luwuk dan Pontianak.


Cetak   E-mail