Warga Miskin, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Warga Miskin, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia

puguh

Oleh : Puguh Wiyono*

Minah seorang nenek berumur 55 tahun, dua Agustus 2009 sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk  menanam kakao. Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada tiga buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya.  Tak berselang lama, lewatlah seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya. “Siapa yang memetik buah kakao itu?” tanya sang mandor. “Saya pak” ujar Minah dengan polos mengakui perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri. Sadar perbuatannya salah, Minahpun meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Tiga kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor tersebut. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang.  Seminggu kemudian dia mendapat panggilan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.

Majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.

(Mengenang sejarah buruk hukum di Indonesia, nenek Minah pencuri 3 buah kakao seperti yang pernah dimuat di https://www.kompasiana.com/).

Ketika ada permasalahan antara pemilik perusahaan dengan warga sekitar atau warga miskin dan berujung ke ruang pengadilan, akan terlihat bahwa ada ketidakseimbangan kekuatan dan sumber daya baik materiil dan immetariil. Warga miskin memiliki sumber daya dan akses yang lebih terbatas dibandingkan pemilik perusahaan. Proses peradilan itu rumit dan membutuhkan pengetahuan hukum untuk menjalaninya ditambah dengan tekanan emosional yang dialaminya dapat mempengaruhi pengambilan keputusan. Misalnya ketika menghadapi pemeriksaan penyidik di polisi maupun menghadapi tuntutan jaksa di pengadilan, warga miskin akan kesulitan menjawab pertanyaan dan mempersiapkan dokumen yang dibutuhkan. Hal ini tidak berlaku ketika seorang didampingi oleh penasehat hukum. Nenek Minah seorang diri tentu tidak sebanding ketika harus menghadapi penyidik polisi dan jaksa yang sarjana hukum.

Kemiskinan dan ketidaktahuan tentang hukum yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang mempunyai dampak yang sangat besar terhadap penegakkan hukum terutama dalam kaitannya dengan usaha mempertahankan apa yang menjadi haknya. Hal ini selaras dengan kenyataan bahwa kemiskinan membawa bencana bagi kemanusiaan tidak saja secara ekonomi tetapi juga secara hukum dan politis.

Kebutuhan akan keadilan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang senantiasa didambakan oleh setiap orang baik si kaya maupun si miskin. Akan tetapi seringkali si kaya dengan kekayaannnya  dapat lebih mudah memperoleh akses terhadap keadilan dari pada si miskin dan hal seperti ini yang menimbulkan kesan bahwa hukum itu hanya untuk si kaya dan bukan untuk si miskin.

Dalam rangka pemenuhan hak konstitusional setiap warga negara, negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1) menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Menurut UUD 1945 jelas bahwa dalam kasus semacam ini warga masyarakat miskin mempunyai hak konstitusional yang sama untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia.

Dalam rangka perlindungan kepada warga tidak mampu yang menghadapi permasalahan hukum itulah negara hadir. Dalam kasus hukum, kehadiran negara diwujudkan antara lain dalam menerbitkan regulasi tentang perlindungan hukum bagi warga tidak mampu seperti Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan penyediaan dana bantuan hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) meskipun dalam prakteknya jumlah APBN untuk program bantuan hukum dianggap masih belum memadai jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Urgensinya semakin terasa pada saat pandemi Covid melanda Indonesia, yang berimbas pada kenaikan jumlah warga miskin dan pengangguran.

Dilansir dari https://sulsel.bps.go.id/, jumlah penduduk miskin Provinsi Sulawesi Selatan per September 2022 mencapai 782.320 orang atau naik dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin per September 2021 sebesar 765.460 orang atau bertambah sebanyak 16.860 orang. Dari data BPS tahun 2023, jumlah angkatan kerja di Sulawesi Selatan sebanyak 4.555.438 orang. Dari jumlah itun sebanyak 4.315.849 orang telah bekerja. Artinya jumlah pengangguran di Sulawesi Selatan sebesar 239.589 atau sebesar 5,5 persen.

Peningkatan jumlah warga miskin justru membuat bantuan hukum secara cuma-cuma semakin urgen. Kehadiran negara ditengah-tengah warga miskin yang sedang mengalami kasus hukum harus benar-benar dirasakan sebagai hak sebagai warga negara Indonesia. Kehadiran negara tidak hanya dengan menerbitkan regulasinya tetapi juga dengan mengalokasikan jumlah anggaran bantuan hukum dalam APBN.

Untuk menuju pemerataan akses keadilan, bantuan hukum sebagai salah satu jalur untuk penegakkan hukum sudah tentu bukanlah sebuah jalan yang mulus. Ada beberapa kendala dalam implementasinya salah satunya adalah masih banyak masyarakat yang belum mengetahui atau belum bisa menikmat kehadiran dan fungsi bantuan hukum apalagi kalua mereka itu termasuk orang-orang yang buta hukum.

Belajar dari kasus nenek Minah bahwa ketidaktahuan akan hukum bukanlah semata-mata kesalahan nenek Minah tetapi semua pihak. Pihak pemerintah berkewajiban untuk hadir memberikan jaminan perlindungan hukum dengan memberikan bantuan hukum sebagai perwujudan hak asasi manusia. Pihak perusahaan juga dapat memanfaatkan forum ini bekerja sama dengan penyuluh hukum pemerintah setempat untuk menguatkan kesadaran hukum masyarakat sekitar misalnya dengan memberikan penyuluhan hukum menyangkut core business perusahaan dari sisi hukum. Dengan pemahaman yang baik, kehadiran perusahaan mungkin lebih diterima dengan baik sehingga gesekan sosial dan permasalahan hukum antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya dapat dihindari.

Dengan sinergitas pemerintah, swasta dan masyarakat, program bantuan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia PASTI terjamin.

*Puguh Wiyono

Penyuluh Hukum Kanwil Kemenkumham Sulawesi Selatan

Attachments:
FileDescriptionFile size
Download this file (bankum dan ham.pdf)bankum dan ham.pdf 86 kB

Cetak   E-mail