PERSPEKTIF ASAS PEMBENTUKAN DAN ASAS KEMANFAATAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2021

PERSPEKTIF ASAS PEMBENTUKAN DAN ASAS KEMANFAATAN

PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2021

Oleh :  Ramli,S.H.,M.H.

Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Muda - Kanwil KumHAM Sul-sel

Peraturan perundang-undangan dibentuk untuk menciptakan sebuah kebijakan yang  mencerminkan suatu keadilan dalam konteks masyarakat yang adil, tentram dan damai serta mengandung kemanfaatan umum. Kebaikan publik hendaknya menjadi tujuan dari legislator (pembuat undang-undang) menjadikan manfaat umum menjadi landasan penalarannya. (Jeremy

Bentham, 2006 : 25).

Dalam suatu konteks yang bersifat proporsional hal pencapaian yang maksimal dari sebuah peraturan perundang-undangan selalu mengetengahkan sebuah kepentingan umum diatas segala-galanya baik dari segi interpensi politik, kekuasaan maupun kepentingan sesaat dalam penyusunan sebuah rancangan peraturan perundang-undangan yang berkualitas dengan mempunyai jankauan serta berlaku lama dan tidak bersifat instan. Oleh karena itu suatu aturan perundangundangan yang mempunyai nilai aspiratif harus bermuatan pada asas-asas hukum.

Dalam bidang hukum yang menyangkut pembentukan perundang-undangan negara, menurut Burkhard Krems menyebutkan istilah Staatliche Rechtssetzung, sehingga pembentukan peraturan itu menyangkut ;

1. Isi peraturan (Inhalt der Regelung)

2. Bentuk dan susunan peraturan (Formder Regelung)

3. Metode pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung der Regelung)

4. Prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren der Ausar beitung der Regelung).

 (MariaFarida Indrati soeprapto, 2007 : 226)

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka asas pembentukan peraturan pundang-undangan negara akan meliputi asas-asas hukum. Muatan hukum yang akan dibentuk dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Demikian pula dengan Peraturan Presiden yang merupakan peraturan yang dalam tata hukum kenegaraan di Indoesia merupakan peraturan perundang-undangan yang mengikat sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 Ayat (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh UndangUndang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Perpres merupakan jenis Peraturan Perundang-undangan yang baru di Indonesia, yakni sejak diberlakukannya UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Walaupun terkesan baru dalam tata hierarki peraturan perundang-undangan namun memiliki kekuatan hukum mengikat dan mengandung norma hukum dan keberlakukannya mengikat bagi seluruh warga negara, melihat materi muatannya Perpres mengandung materi mengatur materi yang diperintahkan UU dan melaksanakan Peraturan Pemerintah.

Demikian halnya dalam peraturan terkait kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah (PBJP) yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemetintah, sebagai bagian dari peraturan yang mengatur arah dan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dalam memperoleh barang dan jasa yang dibutuhkan dengan menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dalam rangka penyelenggaraan pembangunan nasional.

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menurut Perpres 12 tahun 2021 pasal 1 ayat (1) Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai oleh APBN/APBD yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan. Berdasarkan pengertian tersebut bahwa pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah proses dalam memperoleh barang dan jasa yang melalui kegiatan perencanaan (input), process (Penyedia/Swakelola) dan output (Barang/Jasa) serta outcome (pemanfaatan barang/jasa).

Terdapat dua hal umum yang dapat disimpulkan terkait Regulasi PBJP di IndonesiaYaitu :

Pertama, PBJP tidak pernah diatur dalam UU akan tetapi dalam keputusan Presiden yang lebih terkini dalam Perpres. Kedua, Kepres dan Perpres secara umum terkesan sangat dinamis sehingga kerap terjadi perubahan regulasi beberapa kali. (Richo Andi Wibowo, 2022 : 81). Selain itu materi muatan Perpres tidak mengandung sanksi pidana hanya mengandung sanksi adminstrasi hal ini akan

memberikan kelonggaran hukum bagi pelaku pengadaan yang hanya sebatas mengandung sanksi administrative demikian pula lembaga pengelola kelembagaan diatur dibawah level pimpinanlembaga negara atau kementerian. Dalam tata hukum peraturan perundang-undangan di Indonesia PBJP acap kali bersinggungan dan beririsan dengan beberapa hukum system hukum (legal substance) baik hukum privat (hukum perdata) maupun hukum public (hukum administrasi negara dan hukum pidana).

Apabila ditelaah lebih lanjut dalam proses pengadaan dan singgungan system hukum, dimulai dari perencanaan pengadaan sampai dengan proses pemilihan penyedia sangat relevan dengan hukum administarsi negara karena produk yang dihasilkan dari kedua kegiatan ini adalah penetapan dalam bentuk keputusan pejabat public yang dihasilkan dari sebuah proses yang melibatkan masyarakat (peserta tender) yang dalam hal ini ketika terjadi pelanggaran atas keputusan oleh pejabat public dapat diselesaikan melalui pengadilan tata usaha negara. Untuk tahapan selanjutnya yaitu penandatangan kontrak sampai dengan serah terima barang relevan denganhukum perdata dimana penyelenggara negara bertindak selaku badan public yang melakukan kegiatan perikatan dengan badan usaha dan Ketika terjadi perselisahan antara keduanya diselesaikan melalui pengadilan negeri.

Dari setiap tahapan PBJP yang dimulai dari proses perencanaan, pemilihan penyedia/swakelola, pengendalian kontrak sampai dengan serah terima barang sangat rentan dengan hukum pidana. Pada tahapan perencanaan yang erat kaitannya dengan tindak pidana adalah mark up harga barang/jasa dan menyusun spsesifikasi barang/jasa mengarah pada jenis usaha tertentu. Pada tahapan selanjutnya yaitu proses pemilihan paling sering terendus dengan tindak pidana adalah suap

maupun gratifikasi kepada kelompok kerja pemilihan untuk memenangkan peserta tender tertentu.

Dan tahapan terakhir adalah pengendalian kontrak dan serah terima barang/jasa yang paling rawan bersinggungan dengan tindak pidana adalah persekongkolan atas hasil pelaksanaan pekerjaan dengan laporan kegiatan atau serah terima barang/jasa fiktif tidak sesuai kesepakatan yang tertuang dalam kontrak dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan kedua belah pihak dengan merugikan keuangan negara.

Hasil riset LSI menempatkan pengadaan barang dan jasa dinilai paling rawan terjadi kegiatan koruptif, hal ini diungkapkan Direktur eksekutif LSI Djayadi Hanam berdasarkan survey yang bertajuk urgensi reformasi birokrasi, persepsi korupsi, demokrasi dan intoleransi dikalangan ASN dari kelima tempat yang paling korup diinstansi pemerintah bagian pengadaan diposisi pertama dengan 47,2% disusul bagian perizinan usaha, bagian keuangan, bagian pelayanan dan personalia. Hal ini juga diperkuat berdasarkan data release KPK pada kegiatan sosialisasi system pedoman monitoring center for prevention 2022 tanggal 9 Maret 2022 dalam sosialisasi tersebut KPK menyebutkan bahwa terdapat delapan sector yang menjadi focus perhatian KPK yang dinilai cukup rawan ladang parktik korupsi, kedelapan sector tersebut menempatkan pengadaan barang dan jasa ada diposisi kedua.

Melihat data kondisi tersebut diatas, yang menempatkan PBJP sebagai titik rawan terjadinya perbuatan melawan hukum yang menjadi bagian menyita perhatian public, sehingga menjadi sesuatu yang urgen dijadikan perhatian pemerintah dalam hal ini eksekutif dan legislatif untuk melakukan kajian khusus terkait asas pembentukan dan asas kemanfaatan hukum PBJP. Asas pembentukan hukum seyogyanya regulasi PBJP diatur dengan UU dengan asumsi bahwa pertama pengenaan sanksi pelanggaran PBJP mengandung sanksi pidana yang akan berdampak pada kekhawatiran pihakpihak penyelenggara PBJP terhadap sanksi pidana sehingga akan menjaga integritasnya dalam penyelenggaraan PBJP, kedua kelembagaan yang mengatur kebijakan PBJP setingkat dengan pimpinan lembaga/kementerian, ketiga regulasi yang mengatur pelaksanaan UU adalah peraturan pemerintah dan peraturan presiden sehingga penjabaran kebijakan akan lebih konkrit dan lebih tegas.

Dari ketiga asumsi tersebut akan menciptakan dan melahirkan asas kemanfaatan PBJP dalam mendorong pembangunan bangsa dan negara yang berkeadilan.

Attachments:
FileDescriptionFile size
Download this file (PERSPEKTIF ASAS PEMBENTUKAN DAN ASAS KEMANFAATAN .pdf)PERSPEKTIF ASAS PEMBENTUKAN DAN ASAS KEMANFAATAN .pdf 152 kB

Cetak   E-mail