FENOMENA KABURNYA NARAPIDANA DARI LAPAS

FENOMENA KABURNYA NARAPIDANA DARI LAPAS

Oleh : Puguh Wiyono*

 

Beberapa hari ini kita disuguhi oleh pemberitaan media dengan kaburnya 448  narapidana (napi) dari Rutan Sialang Bungkuk Pekanbaru. Hingga saat ini dari 448 penghuni lapas yang melarikan diri, 298 penghuni sudah ditangkap sementara 150 lainnya masih dicari. Pihak kepolisian sampai dngan saat ini masih terus melakukan  pencarian. Polisi juga membangkitkan sistem siskamling diarea-area lokal untuk menjaga keamanan sekaligus membantu polisi menangkap napi yang masih dalam pelarian.

 

Kaburnya 448 penghuni rutan Sialang Bungkuk Pekanbaru Jumat (5/5) memunculkan polemik di masyarakat mengenai penyebab kaburnya narapidana dari lapas. Over kapasitas, kurangnya petugas pengamanan yang tidak sebanding dengan napi yang dijaga, adanya pungli oknum sipir, perlakuan sipir yang diskriminatif, pelayanan kesehatan yang buruk sampai dengan sarana prasarana lapas yang tidak memadai dituding sebagai penyebab dari pelarian napi dari lapas.  Prof. Dr. Marwan Mas mengatakan bahwa napi kabur adalah fenomena yang terus terjadi di lapas dengan beragam alasan. Misalnya kelebihan kapasitas, kurangnya aparat sipir dan fasilitas ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah kepala lapas dan pegawai atau sipir yang kemudian dicopot dari jabatan atau proses hukum. Ini tidak menyelesaikan masalah’ Jelas Guru besar Hukum Unibos seperti diberitakan Tribun  Senin (8/5).

 

Semua penyebab pelarian narapidana yang telah diuraikan tersebut sebenarnya hanya sebagai pemicu dari luar atau faktor eksternal. Masih ada satu lagi penyebab seorang narapidana melarikan diri yaitu adanya naluri untuk bebas, keinginan untuk tidak terkekang dalam penjara. Kebebasan adalah sesuatu yang dikehendaki oleh setiap makhluk. Kebebasan adalah kecenderungan alami yang dirasakan oleh setiap makhluk. Bukan saja tubuh fisik dan pikiran yang ingin bebas tetapi lebih dalam lagi sampai ke jiwa terdalampun ingin lepas bebas dari penjara.  Kebebasan adalah sifat dasar jiwa manusia yang terdalam. Bahkan binatang yang lebih rendah dari manusia mempunyai kecenderungan dan memiliki naluri menolak diikat.

 

Ketika kita memperhatikan seorang tahanan/napi yang pertama kali masuk ke lapas maka trauma yang paling utama adalah perpisahan dengan kebebasan.  Bagaimana rasanya kita terpaksa dicabut dari kelompok kita untuk ditempatkan disuatu tempat yang tidak kita inginkan?. Bukan hanya fisik dan pikiran kita yang menolak dipenjara melainkan juga jiwa dan seluruh diri kita juga tidak menginginkannya. Suatu perubahan yang pasti terjadi ketika masuk lapas napi harus meninggalkan keluarga dan teman-temannya. Seringkali mereka adalah orang-orang terdekat, tempat untuk berkeluh kesah dan mencurahkan isi hati. Terpisah dengan orang-orang yang kita cintai adalah menyakitkan. Hilang kemerdekaan adalah momok pesakitan yang paling ditakuti oleh napi di lapas.

 

Karena  kecenderungan jiwa adalah kebebasan untuk terbang bebas, maka keberadaan lapas sebenarnya dapat dijadikan sarana bagi jiwa untuk belajar melepas beban agar jiwa  dapat terbang bebas seperti sifat dasar jiwa. Beban disini adalah emosi-emosi yang dibawa dan disandang napi yang menjadikan dirinya sebagai seorang terpidana seperti kemarahan, kesombongan, iri , dengki, dendam, benci, kesedihan, sakit hati, ketidakpuasan, kejengkelan dan keserakahan. Coba kita bayangkan seandainya seorang napi yang selama hidupnya tidak pernah tertangkap apa yang akan dia lakukan?.  Seorang pencuri akan cenderung mengulangi lagi perbuatannya. Seorang pembunuh dia akan dibebani oleh rasa bersalah sepanjang hidupnya atau seorang yang sakit hati akan memendam rasa dendam, benci dan kemarahan yang akan terus menghantui sepanjang hayatnya.  Dengan ditahan di lapaslah seorang napi mempunyai kesempatan indah untuk melepas semua emosi negatif tersebut. Tanpa kesadaran untuk menjadikan lapas sebagai tempat atau ashram untuk belajar maka sampai kapanpun akan selalu ada kecenderungan napi melarikan diri. Lapas baru boleh saja dibangun untuk mengurangi over kapasitas, petugas pemasyarakatan boleh ditambah, kalapas bisa saja berganti dengan pejabat yang baru, aturan boleh saja direvisi termasuk PP 99/2012 tetapi tanpa kesadaran dari napi itu sendiri untuk berubah menjadi lebih baik maka akan sulit untuk menghentikan aksi melarikan diri.

 

Sudah menjadi tugas dan tanggung jawab petugas pemasyarakatan untuk membina dan membimbing napi yang sedang menjalani pidana di lapas agar menyadari bahwa keberadaan mereka di lapas adalah untuk belajar merubah dan menyadari kesalahannya. Semua yang dijalani adalah kesempatan indah untuk dapat melepaskan beban emosi negatif yang selama ini membebani hidup mereka.

 

Makassar, 9 Mei 2017

*Penulis :

Puguh Wiyono (ASN pada Kanwil Kumham Sulawesi Selatan)

Attachments:
FileDescriptionFile size
Download this file (fenomena kaburnya napi.pdf)fenomena kaburnya napi.pdf 284 kB

Cetak   E-mail